10 Fakta Tentang Gus Javar Pasuruan
Gus Javar, nama ini begitu populer di Internet bahkan ratusan youtuber membuat video dengan tema atau konten gus javar, Jumlah viewer dan followersnya pun mencapai ratusan ribu.
Fenomena ini dimulai sejak tahun 2018, popularitas gus javar meroket di tahun tersebut dengan munculnya video tentang gus javar. Sosok unik nyeleneh yang sangat di hormati olah warga pasuruan atau pun warga luar jasa kirim barang terbaik.
Untuk lebih mengenal sosok Gus Javar berikut ini 10 Fakta yang harus anda ketahui tentang Gus Javar.
- MEMILIKI PONDOK PESANTREN, Gus
Javar yang merupakan putra seorang Kyai di Pasuruan ini memang memiliki
Pondok Pesantren yang dikelola oleh keluarga Gus Javar sendiri. Nama
Pondok Pesantren itu adalah BaidurRohman dan masih aktif sampai
sekarang.
- GURU NGAJI, Menurut kesaksian beberapa warga pasuruan, dahulu di tahun 2000an Gus Javar adalah seorang guru ngaji dan beberapa warga memberikan kesaksian bahwa pernah menjadi murid ngaji dari gus javar.
- GEMAR MENUNTUT ILMU , Dari beberapa video yang beredar saat gus javar masih muda, terlihat bahwa sosok gus javar ini sangat gemar belajar ilmu agama, dan sering tampil di beberapa perayaan umat islam di kampungnya.
- SOSOK TAMPAN, Di waktu muda beberapa kesaksian warga sekitar mengatakan bahwa dahulu gus javar adalah seorang pria yang sangat tampan, sosok tinggi tegap dengan wajah bersih, dengan pakaian gamis dan sorban, gus javar terlihat sangat berwibawa.
- MENGALAMI DJAZAB, Jadab atau Djazab adalah fenomena dimana ketika seseorang dicabut akal sehatnya dan mengalami kondisi seperti orang gila. Namun perbedaan dengan orang gila pada umumnya orang djazab terlihat sangat mencintai Allah, dan memang sosok gus javar yang djazab ini adalah karena kecintaannya terhadap Allah Penguasa Alam Semesta ini.
- TIDAK PERDULI HARTA, banyak kesaksian yang menyebutkan bahwa sosok gus javar sangat tidak perduli dengan harta atau uangnya. bahkan di akhir tahun 2017 gus javar membayari rombongan ratusan orang untuk ber wisata ke bali dan jakarta.
- MEMBAWA KEBERKAHAN, Secara fakta telah diketahui keberadaan Gus Javar ini memberi keberkahan kepada penduduk sekitar. Banyak nya tamu tamu yang ingin sowan ke Gus Javar memberikan kehidupan ekonomi di lingkungan sekitar, saat ini di Lapangan Gayam banyak warga yang berjualan karena ramainya orang yg ingin mengunjungi Gus Javar.
- MISTERI KONSER MUSIK, Tidak ada yang paham apa maksud Gus Javar mengadakan konser musik yang konon hingga 4 panggung dalam satu lapangan. Dan biaya yang dikeluarkan pun mencapai ratusan juta rupiah. sampai saat ini tidak ada yang paham.
- MISTERI ASAL UANG, Hal ini yang menjadi pergunjingan banyak netizen. Dari manakah asal usul uang gus javar? Gus Javar menghabiskan ratusan juta untuk konser musik, perjalanan liburan warga dan lain lai, tidak ada yang tahu bagaimana Gus Javar bisa memiliki uang ratusan juta ini.
- MISTERI KEWALIAN, Masih pertentangan pakah gus javar ini adalah seorang wali allah atau bukan? Yang jelas yang bisa mengetahui kewalian seseorang adalah wali, dan hanya orang yang diberikan izin Allah untuk mengetahui kewalian seseorang. Begitu juga dengan sosok Gus Javar ini tidak ada yang tahu apakah dia sosok Wali Allah atau bukan. Wallahu'Alam.
Awal muasal netizen mengkaitkan sosok gus javar dengan sosok yang ada di cerpen gus mus, banyak yang penasaran apakah sosok tersebut yang diceritakan di cerpen gus mus adalah gus javar pasuruan.
Namun sebenarnya sosok yang dicertikan oleh gus mus adalah berbeda dengan gus javar di pasuruan, hanya saja memang sekilas agak mirip karakternya.
Berikut ini cerpen lengkap dari gus mus yang menceritakan tentang sosok Gus Javar.Jasa Pengiriman Terbaik
CERPEN GUS MUS TENTANG GUS JAVAR
Gus Javar adalah Javar Kyai Nyentrik Dari
Pasuruan yang sangat fenomenal dan di
segani masyarakat selain ahli bersedekah dan membantu masyarakat Gus Javar juga
sering memberikan nasihat nasihat yang bermakna tinggi berikut adalah Kisah Gus
Javar Kyai Nyentrik Dari Pasuruan Dalam
Cerpen Gus Mus yang Fenomenal :
Di antara putera-putera Kiai
Saleh, pengasuh pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus
Javar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat.
Mungkin Gus Javar tidak sealim
dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat
namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari
pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata
Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan
dengan anaknya yang satu itu.
“Kata Kiai, Gus Javar itu lebih
tua dari beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya
yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. “Saya sendiri tidak
paham apa maksudnya.”
ummat
“Tapi, Gus Javar memang luar
biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh
Kiai Saleh. “Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung
bisa melihat rahasianya yang tersembunyi
cargoo.
Kalian ingat, Sumini yang anak
penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar
orang sabrang kan ketemu Gus Javar.
Waktu itu Gus Javar bilang, ‘Sum, kulihat
keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?’ Tak lama kemudian orang sabrang
itu datang melamarnya.”
“Kang Kandar kan juga begitu,”
timpal Mas Guru Slamet.
“Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Javar bilang
kepada tukang kebun SD IV itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah
bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?’
Lho, ternyata besoknya Kang Kandar
meninggal.”
“Ya. Waktu itu saya pikir Gus
Javar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil, “Nggak tahunya beliau sedang
membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
“Saya malah mengalami sendiri,”
kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara.
“Waktu itu, tak ada hujan tak ada
angin, Gus Javar bilang kepada saya, ‘Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol;
dapat proyek besar ya?’
Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan
percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan
Pemda tingkat propinsi.”
“Apa yang begitu itu disebut ilmu
kasyaf?” tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz
Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Javar. Takut dibaca tanda-tanda
buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
Maka, ketika kemudian sikap Gus
Javar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang
kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin
yang selama ini merasa dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Javar menghilang
berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi
manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda.
Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia
benar-benar kehilangan keistimewaannya.
https://evanazka.com/rekomendasi-travel-jakarta-semarang/
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang
pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan.
“Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?”
“Ke mana beliau pergi saat
menghilang pun, kita tidak tahu,” kata Lik Salamun. “Kalau saja kita tahu ke
mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau
dan mengapa beliau kemudian berubah.”
“Tapi, bagaimanapun ini ada
hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil. “Paling tidak, kini kita bisa setiap saat
menemui Gus Javar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti
pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu.
Maka, jangan kita ingin mengetahui
apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya
hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz
Kamil, pada malam Jum’at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Javar prei,
tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya.
Kali ini
hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Javar, jauh melebihi
yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan,
was-was dan takut.
Setelah ngobrol ke sana kemari,
akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan
rombongan:
“Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang
juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat
ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Javar
sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya
kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan kan biasa dan suka
membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet, “kok sekarang tiba-tiba mak
pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Javar seperti
benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak
lama.
Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, “Ceritanya
panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
“Kalian ingat, saya lama
menghilang?” akhirnya Gus Javar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia
benar-benar siap untuk bercerita.
Maka serempak kami mengangguk. “Suatu malam
saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang
tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar
200 km kea rah selatan.
Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah
dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya
sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun
rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing.”
“Terus terang, sejak bermimpi
itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa
berguru kepada Wali Tawakkal itu.
Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit
siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan
niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau.
Ternyata, ketika sampai di sana,
hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal.
Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi
petunjuk.”
‘Cobalah nakmas ikuti jalan
setapak di sana itu’ katanya. ‘Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai
kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan
melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu.
Nah, kemungkinan besar orang yang
nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah
itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan.
Orang sini
memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?’
‘Kiai Tawakkal.’
‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin
itulah orangnya, Mbah Jogo.’
“Saya pun mengikuti petunjuk
orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari
bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang
terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang
dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.
Saya diterima dengan
penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka.
Dan kalian tahu? Ternyata
penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua.
Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan
kearifan. Bicaranya jelas dan teratur.
Hampir semua kalimat yang meluncur dari
mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Javar berhenti,
menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan,
“Hanya ada satu hal yang
membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang
ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang
cukup besar dan berbunyi ‘Ahli Neraka’.
Astaghfirullah! Belum pernah
selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak
mempercayai apa yang saya lihat.
Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal
wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli
neraka.
Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah
ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau.
Bahkan
belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu.
Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba
ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam
hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan
keganjialan ini.
Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak
melihat sama sekali hal-hal mencurigakan.
Kegiatan rutinnya sehari-hari
tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah;
melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu;
dan semacamnya.
Kalaupun beliau keluar, biasanya
untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi
pengajian umum.
Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu;
tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang
sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu
tinggal di ‘pesantren bambu’, saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian
untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar.
Saya pikir, inilah kesempatan untuk
mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam
purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi.
Melihat waktunya yang
sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau
lainnya.
https://hendrayulianto.com/
Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat,
tapi juga tidak terlalu jauh.
Dari jalan setapak hingga ke
jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana
beliau gerangan?
Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin
sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh
ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan
kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget,
ternyata sosoknya tak kelihatan lagi.
Yang terlihat justru sebuah warung yang
penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali.
Dua orang wanita- yang satu
masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor
sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari.
Tidak
mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak
pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ tiba-tiba saya
dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama
saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan
penglihatan saya.
Memang betul, mata saya melihat
Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan
pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang
duduk santai di pojok.
Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor
menyambut saya dengan senyum penuh arti.
Kiai Tawakkal menyuruh orang
disampingnya untuk bergeser, ‘Kasi kawan saya ini tempat sedikit!’ Lalu, kepada
orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya,
‘Ini kawan
saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya’.
Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya
dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan”.
“Saya masih belum sepenuhnya
menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai
menawari, ‘Minum kopi ya?!’ Saya mengangguk asal mengangguk.
‘Kopi satu lagi, Yu!’
kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya.
‘Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini!
Lagi-lagi
saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian asyik
kembali dengan ‘kawan-kawan’-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya
masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah
dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini.
Akrab dengan orang-orang
beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata?
Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari
umatnya?
Tiba-tiba saya seperti mendapat
jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya
bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda
itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah.”
‘Mas, sudah larut
malam,’tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. ‘Kita pulang,
yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami,
berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar.
Seperti kerbau dicocok hidung,
saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal
tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. ‘Biar cepat, kita mengambil
jalan pintas saja!’ katanya.”
“Kami melewati pematang, lalu
menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya
menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas
permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau
menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. ‘Ayo!’
teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi
sungai yang cukup lebar.
Sampai di seberang, ternyata Kiai
Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita istirahat
sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian.
‘Kita masih punya
waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’
Setelah saya ikut duduk di
sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan,
‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan
pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut?
Apakah kau yang mahir melihat
tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai
rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi
itu.
Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara
‘Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya.
Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku
memang pantas masuk neraka.
Karena, pertama, apa yang kau
lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening.
Kedua,
kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka
terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka.
Untuk memasukkan hamba-Nya ke
sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai,
apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak?
Atau kau
berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah
mata itu pasti masuk neraka?
Kita berbuat baik karena kita
ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat de
ngan-Nya, tapi kita tidak berhak
menuntut balasan kebaikan kita.
Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal
dari-Nya. Bukankah begitu?’
Aku hanya bisa menunduk. Sementara
Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus
lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah.
Cobaan yang berupa anugerah tidak
kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di
warung tadi; kebanyakan mereka orang susah.
Orang susah sulit kau bayangkan
bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri
sendiri.
Berbeda dengan mereka yang
mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu
datang setiap saat.
Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak
pihak’
Malam itu saya benar-benar merasa
mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya
ketahui.
‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai
bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh
pulang.’
Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak
dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya
celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus
berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau
bambu.
Seperti orang linglung, saya
datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan
Kiai Tawakkal.
Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak
ada.
Tak seorang pun dari mereka yang
berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang
menghampiri saya.
‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya. Ketika saya mengiyakan,
orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang
milik saya sendiri. ‘Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’
‘Beliau di mana?’ tanya saya
buru-buru.
‘Mana saya tahu?’ jawabnya. ‘Mbah
Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau
datang dan ke mana beliau pergi.’
Begitulah ceritanya. Dan Kiai
Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap
merupakan misteri.”
Gus Javar sudah mengakhiri
ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung
sampai Gus Javar kembali menawarkan suguhannya.